Kopi dan Michael Buble. Dua hal itu sudah membuat hidupku indah hari ini. Meski pekerjaan datang bertubi-tubi seperti banjir di bulan Januari. Caffeine keep me alive. He, salah !! Hanya Allah yang bisa membuatku tetap bertahan hidup.
Seluruh ragaku masih terfokus pada layar komputer di meja kerja saat handphoneku bergetar di balik saku blazer. Sederet nomor yang tak kukenal. Ragu-ragu aku memencet tombol answer. Suara yang pernah sangat familiar terdengar. Sebentar, aku masih mengingat-ingat. Ah ya !
“Hai, hem….sibuk sih. Tapi masih sempatlah jawab telepon.” Jawabku setelah dia mengucap salam dan bertanya tentang kesibukan hari ini. Dia masih seseorang yang sama, yang dulu memanggilku dengan ‘Lizz’ disertai penekan z di belakangnya. Kupikir Jepang akan membuat lidahnya menjadi susah mengatakan itu.
Pertemuan pertama kami terjadi tahun yang lalu, tepatnya ketika aku masih semester lima di bangku kuliah. Aku dan dia tergabung dalam satu organisasi kampus yang sama. Sering terlibat dalam kepanitiaan yang sama, menjadikan kami dekat satu sama lain. Meskipun aku dan dia beda fakultas. Pernah suatu malam kami terjebak di sekret, ketika sedang mempersiapkan event besar untuk besok paginya. Sambil menyelesaikan tanggung jawab kami masing-masing, tanpa sengaja dia bercerita banyak hal. Itulah awal kedekatan kami.
“Jadi sudah selesai S2 nya ? Selamat ya Pak. Welcome to the jungle….” Kataku kemudian. Dia tertawa di sana, lalu mengucapkan terima kasih. Diam sejenak, sebelum akhirnya dia bersuara lagi. Aku sempat menimbang-nimbang, saat dia mengajak bertemu besok malam.
“Oke. Besok jam 8 ya.” Akupun menyepakati sebelum akhirnya handphone kuletakkan di tempatnya semula. Lost milik Michael Buble menyertai kebengonganku yang tiba-tiba muncul setelahnya.Kuhirup dalam-dalam aroma kopi yang tinggal setengah cangkir.
Jalanan yang macet membuatku terlambat lima menit. Dia sudah ada di tempat yang kami sepakati kemarin. Tempat makan di Tebet yang nyaman plus menu-menu favoritku. Aku sempat celingukan mencari sosoknya. Sampai akhirnya dia menepuk bahuku sambil tersenyum lebar. Perawakannya tak banyak berubah, masih kurus dan tinggi. Haiyah, mana mungkin berubah jadi pendek. Hanya saja, kulitnya sekarang terlihat lebih bersih, lebih cerah dibandingkan tiga tahun yang lalu. Mungkin salju melunturkan pigmen hitamnya. Hehehe…
“Hai…Lizzz.” Sapanya ramah. Aku membungkuk ala Jepang. Dia tertawa sambil mengajakku menuju sebuah meja. Beberapa menit aku mengamati wajahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.
“Yeah…here I am. Sehat, Alhamdulillah….dan tetap ganteng.“ Katanya ceria.
“Dan tetap narsis.” Sambungku kemudian.
“Kapan sampai, Dan ?” Tanyaku setelah puas tersenyum-senyum saking…apa ya, wondering mungkin.
“Kemarin.” Jawabnya singkat. Kemarin, dan dia langsung menelponku lalu mengajak bertemu. Kalau boleh gede rasa nih ya, dia pasti kangen sama aku. Memang, komunikasi kami tidak sehat sejak tiga tahun yang lalu. Aku bahkan baru tahu dia ke Jepang dari seorang teman, itupun setelah setahun dia di Jepang.
“Oke, jujur. Orang pertama yang ingin aku temui setibanya di Indo adalah….kamu.”
Katanya tegas. Wajahnya masih terlihat tersenyum, meski senyum itu sedikit memudar. Sebuah awalan untuk menuju obrolan yang rawan. Obrolan yang….jujur belum siap aku bahas. Lalu seorang gadis cantik menghampiri meja kami, menanyakan apakah kami siap memesan. Aku menarik napas lega, merasa terselamatkan. Kami memesan menu yang sama. Selalu sama, entah mengapa. Gadis itupun beranjak setelah mencatat pesanan kami. Kembali aku menata hati.
“Dan, so what’s your next….”
“It’s you.”
“What ?”
“Kamu, Lizzz.”
Aku masih tak mengerti. Kalimatku yang tak selesai itu sebenarnya kutujukan untuk menanyakan apa yang ingin dikerjakannya sesampainya di sini. Kembali ke kantornya yang dulu atau mencari yang lebih baik. Meski kantornya yang dulu, menurutku sangat ideal sekali sebagai tempat berkarier.
Dia menarik nafas, memandang mataku lewat kacamatanya. Tatapan yang sama seperti tiga tahun yang lalu. Aku merasa diseret ke detik itu, ketika dia berdiri tegak di teras rumahku. Di sebuah sore setelah hujan, ketika anggrek ungu kesayangan ibu sedang mengembang.
“Dan, sori. Aku nggak bisa. Maaf banget.” Ketika itu aku tertunduk, hatiku bergemuruh entah karena apa. Merasa sedemikian biru meski itu tak cukup membuatku menangis. Sementara dia tersentak tiba-tiba, seolah tersadar dari tidur panjang.
“Lizz, ternyata selama ini aku bermimpi. Kebersamaan kita yang indah itu mimpi semata. Kamu, aku, jalanan yang kita lewati itu tidak eksis, hanya semu. Sesuatu yang nyata itu adalah ini, saat ini, ketika kamu berkata tidak.”
Dia menggeleng, perlahan, berulang kali. Betapa ingin aku mencegahnya, ketika dia berbalik dan menghidupkan motornya lalu dengan kecepatan tinggi dia pergi. Itulah terakhir kalinya aku bertemu dia. Pertemuan yang masih kuingat dengan jelas detil-detilnya. Kaos hitamnya, sneaker bolongnya, topi merah bata, kacamata, dan kekecewaan yang jelas terlukis di wajahnya. Ya, aku tak berencana membuatnya kecewa. Namun aku juga tak pernah menduga dia menginginkanku jadi calon istrinya. Saat itu aku memang sedang tak ingin terikat, tak ingin berhubungan serius dengan siapapun. Termasuk dia. Jadi aku menjawab tidak. Salahkah aku ?
Minuman yang kami pesan diantar oleh seorang laki-laki muda. Dia dengan ramah mempersilakan kami untuk menikmatinya. Aku menyunggingkan senyum terima kasih. Dia pergi, lamunan singkatku menguap. Sementara matanya masih lekat di wajahku. Mata yang sejak sore itu sering hadir di mimpi malamku. Mata yang diam-diam kurindukan sungguh.
“Dengar Lizzz, aku tak akan berlama-lama lagi menahan semua ini. Tiga tahun sejak sore itu, aku hidup dalam ketakmengertian. Aku berusaha menjauh dari kehidupanmu. Apply beasiswa ke luar negeri, demi menghapus dirimu. Kupikir Jepang akan memberiku banyak opsi sebagai penggantimu. Kupikir gadis-gadis sebangsa Miyabi bisa menggeser posisimu di hatiku. Ahh, nyatanya aku salah. Tiga tahun tanpa berkomunikasi denganmu justru membuatku gila. Kau tahu bukan rasanya merindu. Rasanya lebih tak enak dari sekedar menahan pipis.”
Di kalimat itu dia berhenti sejenak, tersenyum geli sendiri. Aku pun tersenyum, teringat kembali pada keahliannya mencipta humor. Dulu, dia sering membuatku tertawa terbahak-bahak di sela stressnya mempersiapkan sebuah acara. Lalu ekspresinya berubah serius lagi.
“Katakan saja aku keras kepala, katakan saja aku…bodoh. Tapi ah ya, I’m insane. Whatever…. I’am crazy of you.”
Dia selesai. Aku terdiam, memandangnya yang bersandar di meja sambil bersedekap. Di balik matanya ada berjuta hal yang ingin dikatakannya padaku. Aku tahu itu, sangat tahu. Aku sangat mengenalnya. Lalu mengapa aku tak bisa mengenali diriku sendiri ? Mengapa aku tak bisa membaca diriku sendiri ? Aku buta huruf ?
“Dan, I really miss you. Miss you like crazy….”
Dia terkejut mendengar perkataanku itu. Tubuhnya mendadak tegak. Seketika aku teringat ratusan malam yang kulalui dengan memeluk jacket miliknya yang belum juga kukembalikan. Jacket yang tak pernah kucuci sebab tak ingin menghilangkan bau keringatnya. Hei, aku jorok ya. Biarlah….
“Lalu mengapa tiga tahun yang lalu kau menolakku ?”
“Aku hanya tak siap, Dan. Aku samasekali tak pernah berpikir tentang itu. Kita bersahabat, yah…aku, kamu, motor, rasanya aneh ketika kamu memintaku untuk jadi istrimu.”
“Itu karena kamu tidak mencintaiku, kan.”
“Bukan, bukan begitu.”
“Ya, kamu tak pernah mencintaiku. Kamu menertawakan gagasanku, padahal setengah mati aku berusaha mengatakan itu. Rasanya lebih menegangkan dari ujian skripsi Lizz…Dan sekarang, aku baru benar-benar menyadari bahwa aku memang bodoh. Memimpikan kamu sebagai istriku sementara aku tak pernah tahu perasaanmu padaku.”
“Dan…”
“Setelah tiga tahun berlalu, mungkin kaupun masih akan menganggapku begitu. Konyol memang.”
“Dan….”
“Kemarin aku sangat gembira kau mau kuajak bertemu di sini. Merasakan ada peluang yang terbuka, aku bahkan tak menanyakan padamu apakah kamu sekarang sudah menikah atau sudah dilamar orang. Sial, kenapa itu tak terlintas di benakku. Siapa tahu sekarang kamu sudah bertunangan, sementara dengan bodohnya aku masih terus berharap, mengapa tak pernah terlintas dalam otakku untuk mencari info tentang itu. Ah ya, mungkin karena aku terlalu percaya diri, bahwa kau pasti menungguku kembali. Padahal jelas-jelas kau pernah menolakku. Jelas-jelas kau tidak…..”
“Dan, I love you.”
Aku pun telah bosan menahan rahasia itu.
14 komentar:
Ok jg.
Semoga kencannya sukses, dan mengesankan tentunya.
woo ..great info bos
indah pada waktunya :)
Sambil senyum-senyum yah nulisnya,, hikikikiki...
ditambah lagi dengan alunan lagu dari michael buble,, ohho....
sedap betul dah...
asik..asik...
jadi pengen nelpon seseorang disana nih hhehe
Aih, kopi + MB...asyiiik
Salam kenal.
hmmmm....nice story ^^
cerita yang bagus mba
ayo mba terus bikin cerita bagus biar saya bisa baca terus
ceritanya kayak beneran aja nih,,
mau dong jadi DAN,, hihiiii...
pelajaranmamat :
you'r welcome. loh ?
Ayas Tasli Wiguna :
pake cangkir nggak ? hehe
M Mursyid PW :
yang kencan bukan saya, pak. tapi Lizz dan Dan.
Dokter Leo :
iyakah ?
NaiCaNa :
yup ! that's the point is
phonank :
loh..kok tahu sih ? hehe
aaSlamDunk :
udah jadi ditelpon belum ?
ALRIS :
salam kenal juga. makasi sudah ke sini
Etha :
makasih ya mbak
agung aritanto :
nah itu dia, inspirasinya on off mulu. hehehe...
Fi :
loh, ini fiktif lohhhh...
ntar kalo difilmin boleh lah casting jadi Dan.
wuahhhhh....ngayal kita.
it's very nice post.. thank you for your helpful and informative content
obat sipilis alami
obat herbal sifilis
obat tradisional penyakit sipilis
tanda tanda sipilis
obat sipilis
Obat Kutil Kelamin
Obat Untuk Kutil Kelamin
Obat Untuk Penyakit Kutil Kelamin
Cara Mengobati Kutil Kelamin
Cara Mengobati Penyakit Kutil Kelamin
Thank you for sharing information on your website, blogging greetings
Harga Ambejoss Dan Salep Salwa
Posting Komentar