----------------------------
Jumat ini, saya sengaja pulang cepat. Jam 5 saya sudah sampai di rumah. Tidak gampang memang meninggalkan tanggung jawab di kantor sebelum semuanya terselesaikan. Tapi saya tahu, saya harus segera pulang, atau saya tak akan pernah bisa lagi melihat senyumnya yang menenangkan itu. Senyum yang akhir-akhir ini sudah jarang lagi saya nikmati. Saya yang terlalu sibuk, atau dia yang jarang lagi menyunggingkan senyum yang sama itu ?
Selesai mandi, saya menyalakan tv di ruang tengah. Tayangan di tv itu tak benar-benar saya perhatikan. Kejadian sore kemarin di Tebet kembali mengapung dalam ingatan. Senyumnya yang langka bagi saya, tetapi begitu murah dia berikan pada Zaki. Jantung saya memang sudah berdetak normal kembali, tetapi sakit di hati belum sembuh benar. Sepulang dari Tebet kemarin saya langsung meluncur ke kantor, berkutat dengan tumpukan file yang tidak saya sentuh selembar pun. Pikiran saya meracau, menimbulkan suara-suara nyaring di kepala. Kadang saya mendengar tawa mengejek, kadang tangisan yang melolong, kadang hanya bisikan angin yang menyuruh saya bersabar. Bosan mendengar suara-suara itu, saya pun pulang saat bulan tepat berada di puncak langit.
“Loh, Pa. Kok sudah pulang ?”
Wanita yang saya lihat di Tebet bersama Zaki kemarin kaget melihat saya sudah duduk manis di depan tv. Dia meletakkan handbag dan kantong belanjaan di atas meja makan. Saya menyunggingkan senyum, mungkin dengan level ketulusan yang minim. Dia pun menghampiri saya, mencium tangan saya seperti biasanya, lalu duduk di samping saya. Dia mengeluhkan harga-harga yang beranjak naik, mengeluhkan kemacetan di hari Jumat, mengeluhkan banyak hal yang tak satupun ingin saya bahas. Tangan kiri saya menggenggam tangan kanannya, dia terhenyak. Seolah itu adalah hal pertama yang pernah saya lakukan. Mulutnya mengatup, matanya menyiratkan tanda tanya tapi tak pernah dikatakannya.
“Rania….”
Saya menyebut namanya. Sudah lama saya tidak menyapanya dengan panggilan itu, sejak saya mengucapkan janji pada Tuhan untuk menjadi imam baginya, menjadi pendamping setianya di saat suka dan duka. Sekarang saya tersentak sendiri mengingat janji itu, apakah iya saya selalu mendamping Rania di saat suka dan dukanya. Jangan-jangan tidak.
Rania, yang rambutnya masih setebal dan sehitam dahulu memandang saya ragu. Sepertinya dia menangkap sesuatu yang tak wajar. Mungkin sekarang dia sudah tahu kemana saya akan mengarahkan pembicaraan ini.
“Rania, jika aku adalah sahabatmu yang dulu, dan sekarang sedang bertanya padamu, apakah kau bahagia dengan pernikahanmu, apa jawabanmu ?”
Tanya saya. Dia tak mampu melawan tatapan mata saya. Matanya beralih memandang obyek lain.
“Apa kekurangan suamimu, Rania ? Jujurlah padaku, anggap aku bukan suamimu. Anggap saja aku sahabatmu, tempatmu mengeluh.”
Aku memohon. Rania merasa tak nyaman dengan situasi ini, namun dia tak berusaha lari. Dia masih di sini, di situasi yang sama. Bola matanya yang dulu memikatku bergerak-gerak. Air mata mengalir perlahan. Tapi dia tak terisak.
“Mas, apa maksudmu ?”
Tanyanya bingung. Tidakkah dia tahu, saya lebih bingung darinya. Saya sang lelaki, berusaha sekuat tenaga mengalahkan ego dan gengsiku saat bertanya itu padanya. Saya sang lelaki yang terluka dan cemburu saat melihat istrinya menghabiskan waktu dengan lelaki lain tanpa sepengetahuannya, juga bingung menyuarakan sakit hati tanpa menghakimi.
“Aku tahu, tentang Zaki. Kemarin aku melihatmu di Tebet saat aku rapat di sana.”
Dia mengangguk. Kali ini dia merosot dari sofa, seperti kain tanpa kekuatan. Tangannya memegang kedua lututku. Wajahnya menunduk di sana, air mata tumpah menetes di lantai tanpa karpet.
“Maafkan aku, Mas.”
Sekarang dia terisak. Saya menanyai diri sendiri, apakah dia akan kumaafkan ?
“Apa yang membuatmu tidak bahagia dengan pernikahan kita ?”
Saya bertanya dengan ketakutan yang mendadak mengunjungi di sudut ruangan serupa hantu tanpa wujud. Hitam dan mengancam. Sata mendengar dia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya tidak jauh dari tungkai kakiku.
“Aku…aku, aku hanya merasa kauabaikan, Mas. Tak pernah benar-benar kaudengar.“
Dia berkata. Wajahnya sudah terangkat, mata basah itu menatapku. Ketakutan itu merangsek maju mendekatiku ditemani rasa bersalah yang mendadak datang siap menghantamku.
“Pada saat itu, Zaki secara kebetulan datang dan mau mendengarkan aku.”
Ya…Zaki memang tak pernah berhenti mengusik saya. Rania selalu menjadi targetnya, sejak kami masih sama-sama kuliah dulu. Sekarang, meski sudah ada Radit dan Rasya dia tak berhenti. Sedemikain terobsesinyakah dia pada Raniaku, ibu dari anak-anakku ?
“Maafkan aku….”
Ujarku lirih, merasa berdosa karena sudah mengabaikannya. Aku mengelus rambutnya, khawatir dia akan benar-benar pergi meninggalkanku demi Zaki. Siapkah aku menjalani kesendirian tanpanya ?
“Kau tak salah, Mas. Aku tahu kau sibuk, demi aku, demi anak-anak. Harusnya aku yang tahu diri. Aku istri yang durhaka.”
Dia menunduk lagi, mencium lututku yang gemetar. Rasa bersalah itu telah menghantamku kini, tepat di dadaku.
“Kau ingin aku mence….”
“Tidak, tidak, jangan ceraikan aku. Maafkan aku, aku masih mencintaimu. Aku teramat mencintaimu, dan teramat putus asa. Tak tahu lagi bagaimana cara mengatakannya padamu. Kau terlalu sibuk. Aku tidak menginginkan Zaki. Mungkin, aku hanya memanfaatkannya. Aku jahat, Mas. Padamu, dan pada Zaki. Tapi aku lebih mencintaimu dari siapapun. Maafkan aku…..”
______________
19 komentar:
menurut saya sang isteri tidak salah karena tak di hiraukan atau kurang di perhatikan suaminya,tapi suaminya juga tidak salah karena sibuk bekerja untuk anak dan isterinya yang salah adalah zaky yang memanfaatkan keadaan
jadi tak ada yang salah ya, hehe, yang salah dipenjara :)
MUNGKIN YANG SALAH MODERNISASI YANG TELAH MENJEBAK MANUSIA MENJARI ORGANISME YANG SIBUK DENGAN MATERI DAN TUNTUTAN JAMAN HE HE HE ...
panjang amat yah??
baca dulu ddehh
SALAH SEMUAAAA!!!
sebenernya cuma butuh perhatian dan pengertian ehehean h
salam sobat
ya,,diduakan,,siapapun ngga mau mba LINA,,
maunya perhatian dan selalu bersama.
walaupun ada kesalahan,, selalu memaafkan
si istri menutupi kekurangan suami,,begitupun sebaliknya.
selamat tahun baru 2010 yaa..semangat
seLamt menjeLang tahun baru.....
diduakan oleh siapa nih??
apa kabar???
wwhehe.. wah keren nih ceritanya... di hayati banget..
ya aku bisa memposisikan di suaminya.. hmm.. pasti dia ngga bisa apa apa.. karena dia merasa bersalah juga..
kayaknya ini jadi pelajarn buat aku deh.. :D cewek itu butuh perhatian dan kasih sayang.. ^^
salah benar Tuhan yg tau.,..
he.,.,.
emmm.,,.,.
sbg laki2 aq dukung suami'y deh.,.,.
sbge pria aq dukung istri'y.,.,.
hehehhe.,...,
diawal sempet ngira 'saya'itu perempuan, eh ternyata laki-laki.. hehehe.. ceritanya bagus,, aq suka..
ach diduakan...
tidaaaaaakkkkkkkk :D
@All :
terima kasih komentarnnya yaaaa...
pelangi anak :
bener mbak, begitulah memang.
aaSlamDunk :
kepanjangankah ? nah, tu dia kesimpulannya.
NURA :
makasih ya mbak komentarnya. iya, begitulah. harus saling memaafkan yang utama.
anak nelayan & Fais cWaKep:
happy new year juga
makasih dah ke sini
Dokter Leo :
oleh yang menduakan dok :)
Cloud :
kesimpulan cerdas
aziz orang merdeka :
jadi mendukung dua-duanya ya. seri deh.
Syifa Ahira :
laki-laki. syukurlah kalau suka...
:)
makasi ya sudah datang ke sini.
Gusti :
jangan sampai terjadi di dunia nyata ya...
Cerita yang mengharukan yg sebenarnya banyak terjadi di dunia nyata.. but amit2 deh semoga jangan menimpa saya.. orang lain aja hehe..
terimakasih infonya,,,,
Obat Herpes
Cara Mengobati Gatal Pada selangkangan karena herpes
Obat gatal pada selangkangan karena herpes
Cara mangobati penyakit Herpes
Pengobatan Herpes secara alami
Obat Herpes Alami
Cara mengatasi herpes atau cacar
Cara mengatasi penyakit Herpes
Penyakit Herpes dan cara mengobatinya
makasih banyak artikelnya gan.. salam kenal dan jangan lupa berkunjung balik yah
obat tradisional sifilis
obat sipilis instan
penyakit kelamin sipilis
obat untuk sipilis
Thank you for sharing information on your website, blogging greetings
Ambejoss De Nature Di Apotik
Posting Komentar