Rabu, 11 November 2009

Seperti Venus (1)

Fiksi (1)

Dia seperti Venus. Venus yang kadang terlihat jelas di langit timur kala subuh. Kadang seolah tak tampak meski dia tak pernah menghilang. Di lain waktu, dia akan terlihat kala senja di langit barat. Mengintip di sebalik matahari yang meredup. Dia begitu indah meski jauh. Mungkin justru begitulah caranya menjadi indah, dengan membentangkan jarak ribuan mil yang mustahil dapat kutempuh. Begitu pula perempuan itu, yang sebenarnya selalu ada di sekitarku namun tak pernah benar-benar dekat. Aku tak pernah tahu, alasan apa yang mendasarinya hingga dia sedemikian kukuh mempertahankan jarak denganku. Padahal kami selalu terlibat dalam proyek yang sama. Selama ini hubungan kami memang baik. Namun aku merasa sama sekali tak pernah benar-benar mengenalnya.

“Kadang aku ingin memanggilmu Venus saja.“

Kataku suatu sore. Saat itu kami sedang membereskan laporan perjalanan di gazebo depan kolam renang. Dia hanya melihatku sekilas, lalu kembali sibuk menggerakkan jarinya di keyboard.

“Kau indah saat jauh.”

Aku melanjutkan kata-kataku. Tak peduli dengan tanggapannya yang sok dingin itu. Sore ini terlalu sepi jika dilalui hanya dengan melihatnya mengerjakan laporan. Aku lebih memilih menyelesaikan laporan itu besok saja, di rumah. Besok masih hari Minggu. Sore ini, aku ingin merayakan kegembiraanku karena berhasil satu tim dengannya. Artinya, aku akan sering berada di dekatnya.

Awalnya aku berniat mengajak dia bersantai sambil menikmati secangkir kopi. Namun ternyata keahlianku merayu tak berlaku baginya. Lihat saja, sekarang dia sedang asyik sendiri dan mengabaikanku. Jadi, aku pun akan terus membuatnya terusik sampai dia menutup notebooknya itu lalu menyimakku penuh perhatian sambil berkata,lanjutkan sayang. Sebutlah aku tukang khayal, toh memang hal itu mustahil terjadi.

“Venus juga begitu bukan. Begitu indah saat kau mengamati dari kejauhan. Namun ketika astronot mendekatinya, yang terlihat hanya kawah-kawah dan permukaan yang kering dan sangat panas. “

Aku berkeras melanjutkan lagi kata-kataku tadi. Siapa tahu kali ini berhasil mengusiknya. Nyatanya di hanya melirikku sekilas tanpa menghentikan gerakan jarinya.

“Kau mengerikan jika sudah dekat begini. Apatis, dingin dan sungguh angkuh. Terbuat dari apa sebenarnya hatimu ? Tidak adakah sedikit saja hormon estrogen di tubuhmu ? Kau tampak militan dalam balutan blazer hitam kakumu yang biasa kau pakai, sangat menunjang kemaskulianmu itu. Mengapa tak sesekali kau ganti kostum itu dengan sesuatu yang cerah. Oranye misalnya. Oho, kau mungkin akan terlihat seperti….well, tulip mungkin.”

Oh Tuhan, aku terjebak di sore yang seharusnya indah, bersama perempuan gila kerja. Seharusnya dia tidak usah sengoyo itu mengerjakan laporan perjalanan kami. Seharusnya aku dan dia duduk berhadapan menghirup aroma kopi sambil saling bertatapan mesra. Tidak bisakah dia santai sejenak saja, menikmati hidup tanpa menghiraukan urusan kantor. Reina dan Zul saja sedang asik berburu oleh-oleh ditemani teman-teman dari cabang. Mereka juga pasti akan menyempatkan diri untuk mencicipi ikan bakar paling lezat di Surabaya ini. Membayangkannya saja sudah meleleh air liur ini. Sementara aku, entah mengapa malah memilih menunggui perempuan ini, tidak digubris pula.

“Dulu astronomer kuno pernah terkecoh, menyangka venus itu adalah dua planet yang berbeda. Mereka menamakan Phosphorus untuk venus yang terlihat saat pagi, dan Hesperus untuk venus yang terlihat saat sore. Aha, ternyata planet yang disangkanya berbeda itu adalah venus yang sama. Pandai bukan, dia mengecoh orang. Kau juga sering begitu.”

Semakin ingin aku meracau, tak peduli dipedulikan atau tidak. Toh, aku sudah terlanjur diabaikan dari tadi. Meskipun diabaikan begini, aku tak menyesali keputusanku untuk tidak ikut bersama Reina dan Zul. Setidaknya, aku masih berkesempatan merangkum segala yang ada padanya dalam satu kata; indah. Indah yang membuatku berpaling dari segala hal selain dia.

“Kau tahu, kenapa venus seolah misterius ? Astronomer kesulitan melihat permukaannya dengan teleskop optik paling canggih sekalipun. Ada awan tebal yang tersusun dari asam sulfur. Awan yang tak bisa ditembus oleh cahaya tampak. Sama sepertimu bukan ? Ada sesuatu, entah apalah namanya itu. Awan. Kabut. Entahlah, kau sama misteriusnya dengan venus kan.”

Kataku lagi. Dia berhenti sekarang. Merapikan kertas-kertas yang berantakan, memasukkannya ke dalam map yang satu, lalu mengeluarkan kertas-kertas dari map lainnya. Notebooknya masih menyala. Lirih kudengar Only If milik Enya dari sana.

“Do, aku lapar. Sebaiknya kauhentikan dongeng venusmu itu, lalu pergilah mencari seseorang yang bisa memberi kita makan. Apapun itu. Kau yang memilih.”

Hei, kau dengar sendiri, kan. Itu salah satu bentuk keangkuhannya. Tidak ada kata, please Do, atau tolong Do, atau maukah kamu, ah. Selalu kalimat perintah. Dia memerintahku ? Hei, jangan kau kira aku sakit hati atau tersinggung. Dia sudah biasa begitu. Lagipula jika dilihat dari hierarkis jabatan, levelnya memang di atasku. Well, tapi dia begitu bukan karena hierarkis jabatan kok, aku tegaskan sekali lagi, dia memang begitu. Tidak memiliki gaya berkomunikasi yang bagus. Tidak pandai berbasa-basi.

“Apa yang kukatakan tentang venus tadi bukan dongeng, itu ilmiah. Fakta. Jangan kausepelekan pengetahuan astronomiku, dong.”

Protesku, sambil beranjak dari duduk. Dia tersenyum miring. Matanya masih tak beralih dari kertas-kertas itu.

“Aku tahu, NASA kan yang menceritakan itu padamu. Well, okelah. Analogimu tentang venus dan aku itu, yang kusebut dongeng. Kau terlalu mengada-ada. Kau bilang aku misterius lah, indah jika jauh lah, apa bukan dongeng itu namanya. “

Ternyata dia tadi menyimak racauanku. Kupikir dia lebih memilih tenggelam dalam Microsoft Word-nya itu. Ada kegembiraan tersendiri menyusupiku. Ada senyum yang merekah di wajahku, aku yakin itu. Tak bisa kusembunyikan.

“Baguslah, setidaknya kau mendengarku tadi. Kupikir aku tadi bicara sama patung Roro Jonggrang.”

Aku mengatakan itu sebelum pergi mencari sesuatu untuk dimakan. Dia tertinggal di sana sendiri. Aku mendengar Enya lagi. Kali ini Ebudae yang sedang terdengar. Aku sempat berhenti sepersekian detik. Perempuan itu, dan Ebudae dalam sore yang lengang, sungguh menciptakan sensasi yang menggetarkan.

4 komentar:

e v v a on 9 Januari 2010 pukul 22.53 mengatakan...

venus lin?? kok kaya blog acak adulku my evening star hihihi.. love venus tooo

Khalila on 7 Maret 2014 pukul 13.19 mengatakan...

it's very nice post.. thank you for your helpful and informative content
penyembuhan sipilis
obat alami untuk penyakit sipilis
obat alami untuk sipilis
penyakit sifilis pada ibu hamil
obat sipilis

Khalila on 14 Maret 2014 pukul 23.05 mengatakan...

Obat Kutil Kelamin
Obat Untuk Kutil Kelamin
Obat Untuk Penyakit Kutil Kelamin
Cara Mengobati Kutil Kelamin
Cara Mengobati Penyakit Kutil Kelamin

Unknown on 4 Juli 2014 pukul 19.55 mengatakan...

salam kenal dan jangan lupa berkunjung ke situs kami juga yah gan yang membahas seputar obat sipilis kaskus dengan obat herbal aman dan ampuh tanpa efek samping. Informasi cara menyembuhkan sipilis secara herbal yang lengkap beserta obatnya yang tepat dan berlisensi DINKES RI.

 

Followers

Ads Banner

Mengenai Saya

Foto saya
female. environmentalist wannabe. happy as always. open minded. casual ways. simple. impulsive buyer. dreamer. movie freak. book addicted. sometime talk active, sometime being a silent one. always try to pursue life goals and being thankful for every ordinary miracle in life.
Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template Vector by DaPino