Sudahkan aku bercerita padamu ? Tentang seorang gadis penolongku ? Rasanya belum, ya…, seingatku memang belum. Atau sudah ? Ah, entahlah…pikiranku jadi kacau dua hari ini, sejak aku jatuh pingsan lalu tergelatak di rumah sakit dengan suhu badan ekstrim. Rasanya seperti ada seseorang yang membakar tempat tidurku. Panasnya nyata. Namun kobaran apinya hanya ada dalam imajiku, kadang timbul tenggelam dalam mimpiku. Mimpi yang kukira nyata. Nyata yang kukira mimpi. Betapa tersiksanya saat kau berada dalam dunia antara, bukan mimpi bukan pula nyata. Dunia dimana makhluk halus itu tinggal. Kadang aku mendengar mereka saling bercerita di dekat telingaku, dengan tema yang tak kutahu.
Semalam, kusangka aku mendengar percakapan semacam itu lagi. Percakapan di dunia antara. Tapi, ternyata percakapan itu benar-benar terjadi di dunia nyataku. Gadis penolongku itu datang, ditemani seorang temannya yang tak kukenal. Mereka berbincang lirih sementara aku berusaha melawan rasa kantuk dan perih. Aku hanya bisa mengingat sepotong-sepotong, tentang ujian, tentang ujan, tentang orang tua, tentang dokter, tentang aku, tentang penyakitku…dan entah apalagi. Lalu aku benar-benar tertidur pulas hingga jam tiga pagi. Ketika aku terbangun, mereka sudah tak ada lagi. Satu-satunya hal yang mengingatkanku pada kedatangannya adalah arlojinya yang tertinggal di meja.
Gadis penolongku itu bernama Keisya. Dia mengingatkanku pada ibu yang sudah meninggal ketika aku berumur sepuluh tahun. Cara dia berbicara, cara dia memandangku, cara dia menggelengkan kepala, mengingatkanku pada ibu. Kadang aku bertanya-tanya, apakah ibu pernah melahirkan anak selain aku ? Mengapa ada orang yang sedemikian mirip dengan ibu, padahal tak ada hubungan darah setetes pun ? Aku yakin itu, sebab berkali-kali kutanya pada ayah, apakah aku punya adik ? Ayah hanya menggeleng tanpa memberikan sepatah kata penjelasnya.
Keberadaannya di sekitarku selama dua hari ini sungguh menenangkanku. Meskipun itu justru membuatku semakin merindu ibu. Kemarin, aku bertemu ibu di mimpi. Dia menyuapiku, membantuku meminum obat, menepuk punggungku sebelum tidur lalu pergi lagi. Di dalam mimpiku aku terbangun, berteriak memanggil ibu, tapi yang kutemukan hanya ruangan putih hampa dan dingin. Ibu tak ada, bahkan dalam mimpiku pun dia tak bisa lama menemani. Lalu aku terbangun, keringat dingin membanjiri tubuhku. Gadis penolongku itu tersenyum, membuatku sedikit tenang. Dia memberiku minum, membenarkan selimutku, lalu menyuruhku tidur lagi.
Siang ini, dia pasti sedang sibuk di kampus. Aku merasa kesepian di kamar monokrom ini. Aku merindukan ibu, aku merindukan Keisya. Kuharap malam nanti dia datang lagi menjengukku. Meskipun kami tak banyak mengobrol, tapi kehadirannya sungguh menyemarakkan hariku. Dia akan duduk di kursi itu sambil membaca buku. Aku hanya diam memandangnya. Kadang berharap dia adalah ibu. Ah, harapan macam apa itu……
PS : ini adalah lanjutan dari cerita fiksi yang di sini
Semalam, kusangka aku mendengar percakapan semacam itu lagi. Percakapan di dunia antara. Tapi, ternyata percakapan itu benar-benar terjadi di dunia nyataku. Gadis penolongku itu datang, ditemani seorang temannya yang tak kukenal. Mereka berbincang lirih sementara aku berusaha melawan rasa kantuk dan perih. Aku hanya bisa mengingat sepotong-sepotong, tentang ujian, tentang ujan, tentang orang tua, tentang dokter, tentang aku, tentang penyakitku…dan entah apalagi. Lalu aku benar-benar tertidur pulas hingga jam tiga pagi. Ketika aku terbangun, mereka sudah tak ada lagi. Satu-satunya hal yang mengingatkanku pada kedatangannya adalah arlojinya yang tertinggal di meja.
Gadis penolongku itu bernama Keisya. Dia mengingatkanku pada ibu yang sudah meninggal ketika aku berumur sepuluh tahun. Cara dia berbicara, cara dia memandangku, cara dia menggelengkan kepala, mengingatkanku pada ibu. Kadang aku bertanya-tanya, apakah ibu pernah melahirkan anak selain aku ? Mengapa ada orang yang sedemikian mirip dengan ibu, padahal tak ada hubungan darah setetes pun ? Aku yakin itu, sebab berkali-kali kutanya pada ayah, apakah aku punya adik ? Ayah hanya menggeleng tanpa memberikan sepatah kata penjelasnya.
Keberadaannya di sekitarku selama dua hari ini sungguh menenangkanku. Meskipun itu justru membuatku semakin merindu ibu. Kemarin, aku bertemu ibu di mimpi. Dia menyuapiku, membantuku meminum obat, menepuk punggungku sebelum tidur lalu pergi lagi. Di dalam mimpiku aku terbangun, berteriak memanggil ibu, tapi yang kutemukan hanya ruangan putih hampa dan dingin. Ibu tak ada, bahkan dalam mimpiku pun dia tak bisa lama menemani. Lalu aku terbangun, keringat dingin membanjiri tubuhku. Gadis penolongku itu tersenyum, membuatku sedikit tenang. Dia memberiku minum, membenarkan selimutku, lalu menyuruhku tidur lagi.
Siang ini, dia pasti sedang sibuk di kampus. Aku merasa kesepian di kamar monokrom ini. Aku merindukan ibu, aku merindukan Keisya. Kuharap malam nanti dia datang lagi menjengukku. Meskipun kami tak banyak mengobrol, tapi kehadirannya sungguh menyemarakkan hariku. Dia akan duduk di kursi itu sambil membaca buku. Aku hanya diam memandangnya. Kadang berharap dia adalah ibu. Ah, harapan macam apa itu……
PS : ini adalah lanjutan dari cerita fiksi yang di sini