Kamis, 28 Januari 2010

Sebuah Awalan


Kampus cerah ceria hari ini. Langit tidak mendung seperti kemarin. Daun-daun sonokeling terserak menutupi jalanan beraspal kampus yang lengang. Masih pukul tujuh pagi, tapi berani taruhan, Pak Hendarto pasti sudah berdiri di kelas. Sementara anak-anak sedang berusaha keras memperlebar bola matanya, mengenyahkan rasa kantuk.
Aku ? Lagi-lagi terlambat. Tadi malam mengedit laporan hingga jam tiga pagi. Hari ini laporan itu harus dikumpulkan sebelum jam dua belas siang di laboratorium ekologi. Jika terlambat, konsekuensinya cukup mengerikan. Pengurangan nilai laporan sebesar 50%. Kejam.
Pintu laboratorium masih terkunci. Bu Laila, sang laboran, pasti belum datang. Kutunggu saja di depan sini sambil menuntaskan membaca Dunia Sophie yang kutemukan di toko buku kampus kemarin siang. Ketika sampai di halaman 113, kudengar suara langkah kaki. Saat kepalaku mendongak, kutemukan seseorang berbaju flannel kotak-kotak, rambutnya acak, matanya bengkak dan mungkin belum mandi.
“Hai Ke…” Suaranya berat, menyapaku tanpa semangat. Aku tersenyum, rupanya nasib kami tak jauh berbeda.
“Laporan ?” Tanyaku, begitu melihat lembaran kertas berjilid di tangannya. Dia mengangguk lemah, lalu duduk di sampingku.
“Ngantuk….” Katanya sambil setengah merem. Aku memandang sisi kiri wajahnya. Ada satu jerawat di sana. Hampir pecah.
“Belum mandi ?” Tanyaku iseng. Dia mengangguk. Sepertinya aku tak akan bertanya-tanya lagi. Matanya sudah terpejam. Kepalanya menyandar ke dinding. Hembusan napasnya mengusir keheningan pagi ini. Aku melanjutkan membaca lagi.
Setengah jam kemudian, terdengar suara ketukan sepatu wanita, semakin lama semakin mendekat. Semoga itu Bu Laila. Ternyata benar. Saat melihatku, wanita separuh baya itu tersenyum sambil menunjuk orang di sebelahku yang tertidur pulas. Aku hanya tersenyum.  
“Mau ngumpulin laporan ?” Tanya Bu Laila. Aku pun mengangguk sambil berdiri menyerahkan laporan itu.
“Punya temannya mau dikumpulin sekalian nggak, Ke ?”
“Sebentar ya, Bu. Saya bangunkan dia dulu.”
Pelan-pelan kusentuh bahunya. Satu menit berlalu dan dia tidak bangun juga. Bu Laila sudah masuk ke laboratorium. Aku masih mencoba membangunkannya lagi. Tak sengaja tangannya tersentuh olehku. Dingin sekali. Saat mengamati wajahnya aku baru tersadar, wajahnya pucat pasi. Seketika itu juga, aku berlari memanggil Bu Laila.  
 Dilanjutin besok ah…....

Rabu, 20 Januari 2010

Menunggu di Sini




Setengah satu lewat. Saat tanganmu menggeliat, menggapai dunia mimpi hitam putih. Ataukah berwarna ? Ingat, waktu itu kita pernah berdebat mengenai ini di bawah sonokeling kampus. Mimpi itu hitam putih, katamu. Tidak, mimpi itu berwarna, bantahku. Nyatanya saat bermimpi kita lupa untuk memastikan itu.
Kini aku di sini, berdiri di tepi mimpimu. Pepohonan berbatang hitam, dedaunan menguning, langit sewarna timah, tanah tertutup rumput basah dan kau berdiri menghadap barat. Matahari gelisah membujuk senja supaya lekas tiba. Burung-burung terbang rendah berkicau meriah. Kau diam kebingungan, mengenali lingkungan yang asing ini. Taukah kau, aku sering menantimu di sini. Sendiri. Berkali-kali.
Matamu belum menemukan sosokku. Perlahan kuberjalan menujumu dari arah belakang punggungmu. Mungkin kau akan terkejut melihatku, mungkin juga biasa saja. Siapa yang benar-benar tahu isi hatimu. Siapa yang benar-benar bisa menduga yang sesungguhnya. Selamanya kau selalu menjadi teka-teki yang enggan kuselesaikan. Segalanya kadang indah saat menjadi misteri. Dengan begitu aku puas merasai sensasi setiap kali bertanya-tanya tentangmu.
“Dini…”
Kau menyebut namaku selembut desau angin. Matamu membelalak saat menyadari keberadaanku. Aku tersenyum sambil mengangguk.
“Kau…, Mengapa ada di sini ?”
“Aku menunggumu. Lama. Sekarang kau baru datang ?”
Kamu memalingkan pandangan pada matahari yang berhasil membujuk senja. Langit barat jadi jingga. Bulan hampir muncul di langit timur. Bayang-bayangmu menjadi pendek di tanah berserasah. Kini kau tahu, mimpi itu berwarna kan.
“Aku tak tahu kau menunggu.” Bisikmu pada udara yang dingin. Tentu saja kau tak pernah tahu. Aku tak mengatakannya sementara kau tak pernah membahasnya. Untuk apa kau tahu. Meski aku teramat ingin memberitahumu. Dahulu. Namun sekarang semua jadi percuma.
“Mengapa kau menungguku ?” Tanyamu yang membuatku tersenyum. Aku bahkan tak tahu mengapa aku melakukan hal sebodoh itu. Menunggu. Sementara kau tak pernah tahu aku menunggu. Hidupmu terlalu sempurna untuk kukacaukan dengan sebuah pengumuman tak penting bahwa aku menunggumu di sini. Aku tak ingin merusak kariermu yang mulai menanjak itu. Membuatmu berpaling dari segala kenikmatan hidup.
“Jika aku tahu, maka aku akan segera ke sini. Tak ingin membuatmu lama menunggu.” Kamu mulai bergerak mendekat. Perasaan yang dulu pernah ada terasa terulang kembali. Ingatkah kau, ketika kita mulai bertatapan di bawah sonokeling itu ? Lalu bibirmu tersenyum rikuh sementara buru-buru kubuang pandangan ke arah bangunan tua kampus kita. Kau tak pernah memberitahuku sesuatu, aku tak pernah bertanya. Segala ketidakpastian itu sungguh kunikmati. Namun kini aku ingin sebuah jawaban.
“Maksudmu ? Kau rela meninggalkan kariermu demi aku ?” Ragu-ragu kutanyakan itu. Tak berharap lebih mendapat jawaban yang memuaskan. Ketidakpastian ini bisa berakhir dengan sebuah kata ya atau tidak. Keduanya memang berbeda, tapi keduanya toh menjadi sesuatu yang pasti. Lantas aku akan berhenti bertanya-tanya.
“Iya.” Jawabmu tegas. Senyuman terlukis indah di wajahmu. Tanganmu meraih jemariku, dalam beberapa menit kita kehilangan kemampuan berbicara. Hanya mata yang saling menyatakan.
Lalu segala keindahan berubah tragedi. Langit mendadak bergemuruh, kilat datang menyambar. Tautan tangan kita terlepas. Di dalam kepanikan kudengar kau meneriakkan namaku. Mataku lamur. Hujan datang tiba-tiba dan menghebat. Lamat-lamat kulihat sosokmu telah terenggut dari hadapanku, meronta diculik langit. Lalu aku terpental dari dunia ini. Dunia mimpi berwarnamu.
******************************

Dokter berusaha sekuat tenaga menyelamatkanmu. Mesin pendeteksi detak jatung melagukan irama monoton yang lambat. Lalu berhenti di sebuah nada. Dokter dan perawat saling berpandangan lunglai merasakan kekecewaan yang berujung kesedihan. Aku yang berdiri di tepi ranjangmu mengusap titik air di ujung mataku. Mengapa harus berakhir di sini ? Sosokmu yang tak lagi utuh terbujur kaku dan mulai memucat.
Tiba-tiba kurasakan sebuah sentuhan. Lembut dan menenangkan. Kamu sudah berdiri di sampingku, tersenyum penuh kelegaan. Ekspresi kesakitan itu tak membekas di wajahmu yang bersih tanpa darah. Ragu-ragu aku membalas senyummu. Masih bingung menentukan sebuah rasa. Bahagia atau sedih.
“Kau sudah lama menunggu kan ? Ayo kita pergi membangun rumah idaman.”



Senin, 18 Januari 2010

Cerita Azka




Bogor gerimis. Sedikit demi sedikit orang keluar dari Botani Square. Bocah-bocah seusiaku menyambut mereka dengan tawaran payung. Banyak diantaranya menolak payung lebar bocah-bocah itu. Sekilas aku mendapatkan sirat kecewa di wajah mereka yang basah. Rupiah yang diharap tak juga masuk ke kantong baju yang kuyup. Ini sudah malam, kira-kira jam sembilan, atau mungkin sudah jam sepuluh dan mereka masih bertahan di sana mengharap rejeki, tak menghiraukan serangan udara yang dingin.
Salah satu bocah itu sekarang sedang memandangiku yang duduk tak jauh dari pintu keluar. Ketika aku menemukan pandangannya, senyumku mengembang. Ragu-ragu dia membalas senyumku, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Sepertinya bocah itu bisa diajak berteman. Ada keramahan yang kutemukan di sana. Siapa tahu dia mau memberiku tempat berlindung. Setidaknya mala mini saja. Aku tak ingin kembali pulang ke rumah Bunda.
Bukannya aku marah pada Bunda, aku hanya merasa tak pantas berada di rumah Bunda lagi. Masih jelas kuingat percakapan Bunda dengan mamanya tadi sore. Mamanya baru datang Sabtu kemarin dari Semarang. Begitu melihatku, mamanya Bunda, yang kata Bunda harus kupanggil dengan sebutan Eyang, langsung berubah ekspresinya. Diam-diam aku mengikuti langkah-langkahnya menuju kamar Bunda. Di balik pintu kayu yang tertutup aku bisa mendengar percakapan mereka berdua.
“Dini, kamu itu sudah dibilang berkali-kali, tapi ngeyel juga. Mama kan sudah bilang, pikirkan pernikahanmu dahulu. Sekarang mengapa ada anak itu di sini ?”
“Ma, mama apa-apaan sih. Udah ah, nggak usah ribut. Memangnya kalau ada dia, Dini jadi nggak bisa menikah apa ?”
“Din, orang bisa salah persepsi. Kebanyakan laki-laki akan ketakutan dulu kalau tahu calon istrinya punya anak.”
“Nggak semua laki-laki begitu ah.”
“Kamu itu loh, masih ngeyel.”
“Ma, Dini terlanjur sayang sama dia. Dia anak yang manis, cerdas dan yang penting hatinya baik.”
“Ah…kamu itu. Kamu kan nggak perlu ajak dia tinggal di rumahmu ini. Kamu bisa mengunjunginya di panti asuhan. Kamu toh rutin tiap hari libur ke sana, ketemu dia. Nggak harus diajak ke sini segala.”
“Ma, sudahlah nggak usah dibahas. Dini lebih suka dia tinggal di sini, nemenin Dini. Terus terang Sabtu Minggu nggak cukup buat Dini menghabiskan waktu bersamanya. Dini kangen. Dini pengen tiap hari lihat matanya yang bening itu. Mama sih nggak perhatian, matanya indah loh. Mama pasti ikutan jatuh cinta kalau sudah lihat  matanya.”
“Din, kamu nggak usah membujuk mama deh.”
Setelah itu aku tak tahu lagi apa kelanjutan obrolan mereka. Sebab kakiku sudah terlanjur berlari ke luar rumah. Terus berlari hingga aku merasa capek dan kelaparan. Tapi aku tak ingin pulang. Aku tak diinginkan di rumah itu. Aku bahkan tak inginkan di dunia ini. Keberadaanku tak diharapkan siapapun, bahkan ibu kandungku sendiri. Mungkin.
Bu Rahmi, tukang masak di panti asuhan tempatku tinggal selama enam tahun sebelum pindah ke rumah Bunda, pernah bercerita padaku satu hal yang tak kan kulupa. Tujuh tahun yang lalu ada seorang lelaki separuh baya menyerahkanku yang masih bayi merah pada Bu Azmi, pemilik panti asuhan. Bapak itu, yang menurut dugaan Bu Rahmi adalah kakekku, memiliki hidung yang mirip denganku. Bentuknya ramping dan menjulang. Bapak itu mengatakan pada Bu Azmi bahwa ibuku selalu histeris tiap kali melihatku.
Tapi Bu Rahmi memiliki versi cerita lain. Dia mengatakan bahwa kakekku berbohong mengenai ibuku yang histeris. Itu hanya karangan kakekku saja. Kenyataan yang sebenarnya adalah kakekku malu akan kelahiranku. Satu-satunya anak gadisnya telah hamil di luar nikah. Kakekku menolak menikahkan ibuku dengan ayahku. Kakekku khawatir ibuku gagal meraih gelar dokternya jika harus menikah. Maka, sampailah aku di pantai asuhan itu. Bu Rahmi pernah menawarkan padaku untuk bertemu dengan ibuku. Kebetulan adik Bu Rahmi tinggal tak jauh dari rumah ibu kandungku itu. Aku menolak. Aku marah. Marah pada mereka yang telah mengabaikanku.
Aku sama sekali tak ingin bertemu ibuku. Aku sama sekali tak tahu rasanya disayang atau menyayangi. Hingga suatu hari Bu Dini yang cantik datang ke panti asuhan. Bu Dini mengunjungi panti asuhan tiap Sabtu Minggu untuk mengajari kami banyak hal, mulai dari melukis sampai menari. Kadang Bu Dini juga melatih kami menulis. Aku paling suka saat Bu Dini menyuruh kami menulis tentang cita-cita. Waktu itu, aku menulis tak ingin jadi Dokter. Aku ingin jadi seperti Bu Dini. Aku menyukai Bu Dini yang selalu semangat dan berwajah ceria. Seringkali aku berangan-angan dipeluk mesra olehnya, dibelai dan dininabobokan olehnya. Tanpa sadar aku pun dekat dengannya, seringkali aku sengaja berlama-lama menyelesaikan gambarku, agar dia pun bisa berlama-lama ada di dekatku.
Bu Dini tidak hanya menjadi guru seni bagi kami, tapi dia juga telah mengenalkan padaku seperti apa rasanya disayang. Diam-diam, aku merasakan dorongan hati untuk selalu menyayanginya. Aku selalu merindukan dia setiap hari. Ketika Jumat datang, hatiku riang. Sabtu pagi aku mandi paling pagi, lalu memakai baju putih kesayanganku. Baju yang pernah diberikan Bu Dini saat aku berulang tahun yang keenam. Baju yang aku pakai sekarang.
“Azka…ya Allah, Nak. Kamu kemana saja. Bunda hampir gila mencarimu. Untung tadi teman Bunda menelepon, katanya selintas melihatmu di sini. Masyaallah, kamu menggigil begini.”
Aku terkejut. Mataku terbuka, lamunanku melayang dibawa malam. Bunda berlutut di hadapanku. Aku merasakan kebahagiaan yang mendadak. Tapi seketika menyusut saat kulihat Eyang berdiri di belakang Bunda. Rapat-rapat aku memeluk lututku sendiri. Kecemasan dan kelegaan berbaur di wajah Bunda.
“Aku tak mau tinggal di rumah Bunda lagi.”
Kataku sambil terus menunduk memandangi ubin yang kududuki. Bunda mendekapku erat. Kurasakan kehangatan yang langka. Kurasakan rindu yang baru kutahu.
“Ini sudah malam, Azka. Kamu harus pulang. Kamu bisa sakit, kamu sudah makan ? Ayo Nak, kita pulang.”
Air mata Bunda menetes menyentuh ujung kepalaku. Hatiku jadi bimbang. Mengapa Bunda menangis ? Apakah Bunda sedemikian sedih karena aku pergi mendadak hari ini. Apakah Bunda sedemikian mengkhawatirkanku ?
“Aku tak ingin pulang, Bunda. Aku tak ingin Bunda tidak menikah gara-gara aku.”
“Kau bicara apa. Aku tak mau tahu. Pokoknya kita harus pulang. Aku akan menemanimu tidur malam ini, ingat kita belum menyelesaikan dongeng Abu Nawas itu kan. Kau bahkan belum menjawab teka-teki yang Bunda berikan kemarin. Ayo kita pulang. Bunda sudah membelikanmu roll cake rasa keju.”
Aku masih diam. Ragu-ragu. Lalu Eyang menyodorkan cardigan hitam kepadaku. Cardigan yang dibelikan Bunda bulan lalu. Takut-takut kulihat wajah Eyang. Ada senyuman di sana. Apakah Eyang tidak membenciku lagi ? Mengapa dia tersenyum ?
“Maafkan Eyang, Azka. Eyang tak pernah menemukan mata sebening milikmu. Ayo kita pulang, Eyang janji besok akan mengajakmu jalan-jalan ke The Jungle. Kamu ingin ke sana kan ?”
Eyang membelai lembut rambutku. Setelah itu aku tak sadar lagi. Saat terbangun, aku sudah berada di kamarku. Bunda tertidur di sampingku. Aku melihat jam dinding, pukul lima pagi. Tak berapa lama kemudian, pintu kamarku terbuka. Eyang tersenyum melihatku. Lalu muncul pertanyaan di kepalaku, apakah Eyang juga meyayangiku ?






Sabtu, 16 Januari 2010

Award at Weekend

Hai, hai sahabat. How’s your weekend ? Semoga yang capek pada bisa istirahat dengan aman damai dan sentosa. Semoga yang sedang dalam perjalanan berlibur bisa menikmati bener-bener liburannya, jadi pas balik ke kota asal langsung punya semangat baru. Teruuuuuuus, yang lagi nggak kemana-mana bisa menikmati bloggingnya. Halah…

Postingan kali ini mau pajang award dari Naicana yang cantik dan baik. Buktinya belum lama kenal, saya sudah dihadiahi award cantik yang didapat Naicana dari sahabatnya Echa. Ini dia awardnya :

Award dari Naicana


Sesuai dengan yang diamanahkan oleh Naicana pada saya, maka award ini kembali akan saya berikan pada teman-teman yang sering tersesat (ataupun menyesatkan diri) di blog ini. Kapok nggak tersesat di sini ? Hehehe, tenang aja, saya nggak seserem hantu jenis apapun kok, jadi biarpun tersesat…dijamin nggak bakal merasa ketakutan. Oke, sahabat yang dapat award ini adalah :

1. Pelajaran Mamat
2. Ayas
3. M. Mursyid
4. Rosa
5. Phonank
6. aaSlamDunk
7. Etha
8. Agung Aritanto
9. Fi
10. 7 Taman Langit


Sobat-sobat yang dapet award ini harus naroh link-link blog yang ditulis dibawah ini:

1. icalcell
2. firmanthok
3. Aldien
4. Coretanku
5. Wina
6. Ordinary blog
7. Catatan Syifa
8. my life is like a rainbow
9. naicana
10. Lina

Berikut ini rule yang harus dijalanin sama si penerima award. Dicopy dari blognya Naicana :

Sebelum kamu meletakkan link di atas, kamu harus menghapus peserta nomor 1 dari daftar. Sehingga semua peserta naik 1 level. Yang tadi nomor 2 jadi nomor 1, nomor 3 jadi 2, dst. Kemudian masukkan link kamu sendiri di bagian paling bawah (nomor 10).

Tapi ingat ya, kalian semua harus fair dalam menjalankannya. Jika
tiap penerima award mampu memberikan award ini kepada 5 orang saja dan mereka semua mengerjakannya, maka jumlah backlink yang akan didapat adalah 1.953.125.

Nah, silahkan copy paste saja, dan hilangkan peserta nomor 1 lalu tambahkan link blog/website kamu di posisi 10. Ingat, kamu harus mulai dari posisi 10 agar hasilnya maksimal. Karena jika kamu tiba2 di posisi 1, maka link kamu akan hilang begitu ada yang masuk ke posisi 10.

Selain dapat award di atas, saya juga mau pajang award dari 7 Taman Langit yang blognya keren banget. Kaya informasi dan pelajaran berharga sebagai bekali hidup. Ini award keren itu :


Award dari 7 Taman Langit


Dannnnnn, yang terakhir adalah award dari Agung Aritanto yang tinggal di Banjarmasin sana. Blognya bagus,  bisa dapat informasi banyak di sana. Kadang malah bisa dapat pencerahan loh. Hehehe


Award dari Agung


Terima kasih ya atas award-awardnya itu. Semoga semakin memperat persahabatan diantara sesama blogger. Kedua award itu saya berikan untuk Naicana, Etha, Ayas, Syifa, Rosa, Pelajaran Mamat, M. Mursyid, Phonank, aaSlamDunk, Fi dan yang saat ini tersesat di sini dan bersedia mengisi komentar.

Have a nice dayyyyyyyyyyy

Kamis, 14 Januari 2010

Tiga Tahun




Kopi dan Michael Buble. Dua hal itu sudah membuat hidupku indah hari ini. Meski pekerjaan datang bertubi-tubi seperti banjir di bulan Januari. Caffeine keep me alive. He, salah !! Hanya Allah yang bisa membuatku tetap bertahan hidup.
Seluruh ragaku masih terfokus pada layar komputer di meja kerja saat handphoneku bergetar di balik saku blazer. Sederet nomor yang tak kukenal. Ragu-ragu aku memencet tombol answer. Suara yang pernah sangat familiar terdengar. Sebentar, aku masih mengingat-ingat. Ah ya !
“Hai, hem….sibuk sih. Tapi masih sempatlah jawab telepon.” Jawabku setelah dia mengucap salam dan bertanya tentang kesibukan hari ini. Dia masih seseorang yang sama, yang dulu memanggilku dengan ‘Lizz’ disertai penekan z di belakangnya. Kupikir Jepang akan membuat lidahnya menjadi susah mengatakan itu.
Pertemuan pertama kami terjadi  tahun yang lalu, tepatnya ketika aku masih semester lima di bangku kuliah. Aku dan dia tergabung dalam satu organisasi kampus yang sama. Sering terlibat dalam kepanitiaan yang sama, menjadikan kami dekat satu sama lain. Meskipun aku dan dia beda fakultas. Pernah suatu malam kami terjebak di sekret, ketika sedang mempersiapkan event besar untuk besok paginya. Sambil menyelesaikan tanggung jawab kami masing-masing, tanpa sengaja dia bercerita banyak hal. Itulah awal kedekatan kami.
“Jadi sudah selesai S2 nya ? Selamat ya Pak. Welcome to the jungle….” Kataku kemudian. Dia tertawa di sana, lalu mengucapkan terima kasih. Diam sejenak, sebelum akhirnya dia bersuara lagi. Aku sempat menimbang-nimbang, saat dia mengajak bertemu besok malam.
“Oke. Besok jam 8 ya.” Akupun menyepakati sebelum akhirnya handphone kuletakkan di tempatnya semula. Lost milik Michael Buble menyertai kebengonganku yang tiba-tiba muncul setelahnya.Kuhirup dalam-dalam aroma kopi yang tinggal setengah cangkir.

_________________________________________________________________________

Jumat, 08 Januari 2010

Runaway



Bisakah mereka mengatakan bilangan rindu yang kupunya ? Bisakah kau percaya pada apa yang mereka katakan itu ? Rindu seakan menempatkan manusia di sebuah perahu layar yang terombang-ambing hebat saat badai laut mendadak datang. Rasanya mual, juga takut. Ketakutan tak lagi bisa menjumpai daratan tempat berangkat dahulu. Lalu apakah aku bisa kembali ke daratan itu ? Dimana aku berangkat pergi dan kau berdiri memandangi punggungku.

Hidup kadang tak seperti yang ada di buku rancangan kita. Iya, aku tahu. Hidup memang sesuai dengan buku rancangan milik Tuhan. Oh, andai saja Tuhan bersedia membocorkan isi buku itu padaku, mungkin aku bisa mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi. Sayangnya jin selalu gagal mengintip buku itu, lalu dia kembali ke bumi dan mengabarkan berita-berita yang tak sepenuhnya benar. Sebab itu aku tak percaya ramalan. Itu hanya bualan jin yang gagal menembus penjagaan ketat malaikat.

Aku tak ingin pergi. Kau tak ingin aku pergi. Kita tak ingin berpisah. Tapi siapa yang tahu Tuhan telah merancang perpisahan ini untuk kita. Aku tak bisa bilang tidak, sebab aku tak ingin disebut makhluk durhaka. Kau tak bisa memaksaku bilang tidak, sebab kau terlalu mencintaiku. Meski cinta kita membutuhkan pengorbanan yang tak mudah.

Sebut saja aku plin plan, sebab aku memang selalu begitu. Aku tak ingin pergi. Sungguh tak ingin. Tapi aku pergi juga. Aku tahu mataku berlebihan menumpahkan air mata. Aku tahu kau terlalu berlebihan untuk menahan supaya air matamu tak jatuh berderai. Kau selalu ingin terlihat kuat bukan ? Tidak, kau memang kuat. Seperti seharusnya. Seperti yang selalu kuharap. Kekuatan hatimu itulah salah satu yang kucinta.
Ini entah hari keberapa, aku lelah menghitung. Ratusan jumlahnya, dan kita belum juga berjumpa. Bisakah cinta bertahan di tempatnya semula, sementara kau semakin menjelma bayang-bayang. Mana bisa aku memelukmu, lalu bersandar di dadamu seperti sebelumnya. Saat hatiku resah entah karena apa, dan dadamu memberiku kenyamanan serupa secangkir coklat panas. Kini hatiku resah melebihi yang dulu pernah kurasa. Badai datang mendadak. Porak segala tatanan di dalamnya. Termasuk kata-kata penghiburan yang sering kau bisikkan dari jauh itu. Aku tak lagi bisa menunggu. Aku harus berbuat sesuatu untuk menjadikanmu nyata kembali.

Nanti malam aku akan melaksanakan rencana itu, mungkin bersama Ratih dan Irna. Kemarin kami sudah menyepakati strategi itu. Lalu segalanya akan berjalan lancar. Mereka tak akan sadar sampai kemudian fajar mengusir gelap, lalu seorang sipir wanita akan berteriak menggemparkan seluruh lorong bahwa tiga narapidananya kabur. Demi Tuhan, kami tak akan kabur selamanya. Hanya sebentar. Aku hanya ingin melihatmu menjadi sosok yang nyata, bukan sekedar bayang-bayang semata. Sekedar memastikan bahwa cinta masih ada di tempatnya, belum bergeser seinci pun. Lalu aku akan tenang. Berjalan kembali ke penjara dengan riang, seperti seorang anak yang pulang ke rumah setelah lelah bertamasya.
 

Followers

Ads Banner

Mengenai Saya

Foto saya
female. environmentalist wannabe. happy as always. open minded. casual ways. simple. impulsive buyer. dreamer. movie freak. book addicted. sometime talk active, sometime being a silent one. always try to pursue life goals and being thankful for every ordinary miracle in life.
Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template Vector by DaPino