Senin, 23 November 2009

Soulmate (Sekuel Seperti Venus)

Di kejauhan sana, titik-titik kuning menyala bergerombol di hamparan kegelapan. Kegelapan yang mengaburkan garis pemisah antara pantai dan langit. Titik-titik itu membentuk siluet perahu nelayan yang mungkin baru saja berangkat berburu ikan. Sungguh indah bagiku. Dua warna saling kontras, seperti lukisan dalam kanvas berlatar hitam pekat.
Bis masih melaju menyusur pantai utara yang meramai saat malam. Kaca jendela memburam terkena titik hujan yang baru saja reda. Kapal itu semakin tergeser, dari kanan menuju kiriku, dan akhirnya menjadi sesuatu yang tak terlihat olehku. Begitulah waktu melenyapkan kamu. Kamu tentu masih ada, tetapi tak lagi bersisian denganku. Tak lagi dapat kulihat setiap saat. Namun masih terus kukenang.

Tujuh tahun yang lalu....

"Malam di pelosok ternyata lebih indah ya" Katamu, dulu, sewaktu kita masih teramat muda dan senang berkelana.

"Apa bedanya ?" Tanyaku. Lalu mulai mencari bagian mana yang indah di malam ini. Selain adamu yang begitu jujur berbagi cerita apa saja denganku. Membuat malam yang sunyi menjadi riuh oleh obrolan kita yang sering berubah topik.

"Lihat saja itu." Kau mendongak, menghayati betul saat menatap titik-titik terang di hamparan langit maha luas. Aku mengiyakan dalam diam. Bintang di sini memang terlihat lebih terang. Tidak perlu berusaha keras bersaing dengan lampu-lampu jalan serta cahaya-cahaya dari gedung bertingkat seperti di kota besar.

"Di sini bintang terlihat lebih mentereng kan, dibanding lampu gedung-gedung tinggi di kota." Ternyata pikiranmu sejalan denganku. Ini bukan saat yang langka, saat kita memiliki pemikiran yang sejalan. Bahkan kadang telepati bukan sesuatu yang mustahil bagi kita. Seperti yang terjadi dua bulan yang lalu, saat dadaku tiba-tiba sesak. Ternyata kamulah penyebabnya, saat itu asmamu kambuh sehingga menyebabkan sesak di dadaku. Aneh ? Entah.

"Kau tahu ? Aku menikmati saat-saat berada di pedalaman ini. Meski tak ada sinyal dan listrik hanya nyala selama 12 jam setiap harinya." Kini tatapanmu beralih. Kali ini memandang sisi kanan wajahku.

"Di sini memang lebih damai. Lagipula di sini kita bisa melihat banyak hal yang indah dan langka. Elang terbang rendah misalnya. Oya, dan bintang itu." Kataku.
"Dan kamu." Kau nyaris berbisik. Aku mendengarnya, lalu menoleh melihat wajahmu yang berubah ekspresi mendadak. Aku, sebenarnya ingin memperpanjang topik satu itu. Tapi sesuatu seperti melarangku tiba-tiba. Tak usah saja.

"Hem, tapi...kalau disuruh tinggal di sini, aku akan berpikir ribuan kali dulu. Okelah aku suka di sini, tapi hanya beberapa bulan saja." Aku membuka ruang diskusi selepas jeda beberapa saat.

Kau diam lagi. Aku tahu apa yang di benakmu. Tetapi aku memilih pura-pura tak tahu.
"Penelitian kita akan berakhir minggu depan kan ya. Kita adain perpisahan yuk." Aku mencari topik lain. Tidak ada respon menyenangkan darimu. Kau hanya mengangguk saja. Tak ada diskusi panjang lagi.

Sementara bulan sudah naik ke atas. Malam makin tua. Pagi di ujung sana.
"Sudah larut. Aku mau tidur saja." Kataku sambil beranjak dari teras rumah panggung itu. Tempat aku dan dua orang teman perempuanku menginap. Sementara kamu dan empat teman laki-laki yang lain menginap di rumah panggung sebelah.

Kau juga berdiri. Menahanku sejenak dengan badanmu yang menjulang itu. Menghalangiku yang akan melangkah ke dalam.

"Kau tahu, sekarang aku sedang ketakutan ?" Tanyamu. Aku tak mengerti. Kau bukan tipe penakut pada apapun. Termasuk pada maut sekalipun. Dan pertanyaanmu itu membuatku tersenyum saat itu. Akhirnya kau merasa takut juga.

"Takut pada apa ?" Tanyaku sekilas, sambil menguap.

"Takut jatuh cinta padamu." Katamu.

Mataku yang tadi sempat meredup, kini membelalak. Aku ternganga. Lalu memandangimu, mencari keseriusan di sana.

"Jangan...." Kataku.

"Jangan sampai." Lanjutku. Lalu aku membuka handle pintu dan masuk ke dalam dengan pertanyaan-pertanyaan nyinyir di kepalaku yang enggan kujawab saat itu.

________________________________________

Ingatanku kembali ke tempatnya. Bus masih melaju menembus gelap. Bintang di luar tak tampak. Kamu di ingatanku sekarang.
Aku tak tahu, mengapa dulu aku mencegahmu untuk jatuh cinta padaku. Mungkin karena ketakutanku semata. Karena aku takut merusak perasaan paling murni yang kumiliki, kasih sayang tanpa tendensi yang telah tumbuh sejak pertama aku mengenalmu. Saat ospek di kampus kita. Sejak awal, aku tahu tak akan sanggup mencintaimu, sebab yang kumiliki lebih dari cinta.
Lagipula kita terlalu sama dalam banyak hal. Aku butuh seseorang yang berbeda, yang menggenapiku. Bukannya sama persis denganku. Dan itu bukan kamu.

Rabu, 11 November 2009

Seperti Venus (1)

Fiksi (1)

Dia seperti Venus. Venus yang kadang terlihat jelas di langit timur kala subuh. Kadang seolah tak tampak meski dia tak pernah menghilang. Di lain waktu, dia akan terlihat kala senja di langit barat. Mengintip di sebalik matahari yang meredup. Dia begitu indah meski jauh. Mungkin justru begitulah caranya menjadi indah, dengan membentangkan jarak ribuan mil yang mustahil dapat kutempuh. Begitu pula perempuan itu, yang sebenarnya selalu ada di sekitarku namun tak pernah benar-benar dekat. Aku tak pernah tahu, alasan apa yang mendasarinya hingga dia sedemikian kukuh mempertahankan jarak denganku. Padahal kami selalu terlibat dalam proyek yang sama. Selama ini hubungan kami memang baik. Namun aku merasa sama sekali tak pernah benar-benar mengenalnya.

“Kadang aku ingin memanggilmu Venus saja.“

Kataku suatu sore. Saat itu kami sedang membereskan laporan perjalanan di gazebo depan kolam renang. Dia hanya melihatku sekilas, lalu kembali sibuk menggerakkan jarinya di keyboard.

“Kau indah saat jauh.”

Aku melanjutkan kata-kataku. Tak peduli dengan tanggapannya yang sok dingin itu. Sore ini terlalu sepi jika dilalui hanya dengan melihatnya mengerjakan laporan. Aku lebih memilih menyelesaikan laporan itu besok saja, di rumah. Besok masih hari Minggu. Sore ini, aku ingin merayakan kegembiraanku karena berhasil satu tim dengannya. Artinya, aku akan sering berada di dekatnya.

Awalnya aku berniat mengajak dia bersantai sambil menikmati secangkir kopi. Namun ternyata keahlianku merayu tak berlaku baginya. Lihat saja, sekarang dia sedang asyik sendiri dan mengabaikanku. Jadi, aku pun akan terus membuatnya terusik sampai dia menutup notebooknya itu lalu menyimakku penuh perhatian sambil berkata,lanjutkan sayang. Sebutlah aku tukang khayal, toh memang hal itu mustahil terjadi.

“Venus juga begitu bukan. Begitu indah saat kau mengamati dari kejauhan. Namun ketika astronot mendekatinya, yang terlihat hanya kawah-kawah dan permukaan yang kering dan sangat panas. “

Aku berkeras melanjutkan lagi kata-kataku tadi. Siapa tahu kali ini berhasil mengusiknya. Nyatanya di hanya melirikku sekilas tanpa menghentikan gerakan jarinya.

“Kau mengerikan jika sudah dekat begini. Apatis, dingin dan sungguh angkuh. Terbuat dari apa sebenarnya hatimu ? Tidak adakah sedikit saja hormon estrogen di tubuhmu ? Kau tampak militan dalam balutan blazer hitam kakumu yang biasa kau pakai, sangat menunjang kemaskulianmu itu. Mengapa tak sesekali kau ganti kostum itu dengan sesuatu yang cerah. Oranye misalnya. Oho, kau mungkin akan terlihat seperti….well, tulip mungkin.”

Oh Tuhan, aku terjebak di sore yang seharusnya indah, bersama perempuan gila kerja. Seharusnya dia tidak usah sengoyo itu mengerjakan laporan perjalanan kami. Seharusnya aku dan dia duduk berhadapan menghirup aroma kopi sambil saling bertatapan mesra. Tidak bisakah dia santai sejenak saja, menikmati hidup tanpa menghiraukan urusan kantor. Reina dan Zul saja sedang asik berburu oleh-oleh ditemani teman-teman dari cabang. Mereka juga pasti akan menyempatkan diri untuk mencicipi ikan bakar paling lezat di Surabaya ini. Membayangkannya saja sudah meleleh air liur ini. Sementara aku, entah mengapa malah memilih menunggui perempuan ini, tidak digubris pula.

“Dulu astronomer kuno pernah terkecoh, menyangka venus itu adalah dua planet yang berbeda. Mereka menamakan Phosphorus untuk venus yang terlihat saat pagi, dan Hesperus untuk venus yang terlihat saat sore. Aha, ternyata planet yang disangkanya berbeda itu adalah venus yang sama. Pandai bukan, dia mengecoh orang. Kau juga sering begitu.”

Semakin ingin aku meracau, tak peduli dipedulikan atau tidak. Toh, aku sudah terlanjur diabaikan dari tadi. Meskipun diabaikan begini, aku tak menyesali keputusanku untuk tidak ikut bersama Reina dan Zul. Setidaknya, aku masih berkesempatan merangkum segala yang ada padanya dalam satu kata; indah. Indah yang membuatku berpaling dari segala hal selain dia.

“Kau tahu, kenapa venus seolah misterius ? Astronomer kesulitan melihat permukaannya dengan teleskop optik paling canggih sekalipun. Ada awan tebal yang tersusun dari asam sulfur. Awan yang tak bisa ditembus oleh cahaya tampak. Sama sepertimu bukan ? Ada sesuatu, entah apalah namanya itu. Awan. Kabut. Entahlah, kau sama misteriusnya dengan venus kan.”

Kataku lagi. Dia berhenti sekarang. Merapikan kertas-kertas yang berantakan, memasukkannya ke dalam map yang satu, lalu mengeluarkan kertas-kertas dari map lainnya. Notebooknya masih menyala. Lirih kudengar Only If milik Enya dari sana.

“Do, aku lapar. Sebaiknya kauhentikan dongeng venusmu itu, lalu pergilah mencari seseorang yang bisa memberi kita makan. Apapun itu. Kau yang memilih.”

Hei, kau dengar sendiri, kan. Itu salah satu bentuk keangkuhannya. Tidak ada kata, please Do, atau tolong Do, atau maukah kamu, ah. Selalu kalimat perintah. Dia memerintahku ? Hei, jangan kau kira aku sakit hati atau tersinggung. Dia sudah biasa begitu. Lagipula jika dilihat dari hierarkis jabatan, levelnya memang di atasku. Well, tapi dia begitu bukan karena hierarkis jabatan kok, aku tegaskan sekali lagi, dia memang begitu. Tidak memiliki gaya berkomunikasi yang bagus. Tidak pandai berbasa-basi.

“Apa yang kukatakan tentang venus tadi bukan dongeng, itu ilmiah. Fakta. Jangan kausepelekan pengetahuan astronomiku, dong.”

Protesku, sambil beranjak dari duduk. Dia tersenyum miring. Matanya masih tak beralih dari kertas-kertas itu.

“Aku tahu, NASA kan yang menceritakan itu padamu. Well, okelah. Analogimu tentang venus dan aku itu, yang kusebut dongeng. Kau terlalu mengada-ada. Kau bilang aku misterius lah, indah jika jauh lah, apa bukan dongeng itu namanya. “

Ternyata dia tadi menyimak racauanku. Kupikir dia lebih memilih tenggelam dalam Microsoft Word-nya itu. Ada kegembiraan tersendiri menyusupiku. Ada senyum yang merekah di wajahku, aku yakin itu. Tak bisa kusembunyikan.

“Baguslah, setidaknya kau mendengarku tadi. Kupikir aku tadi bicara sama patung Roro Jonggrang.”

Aku mengatakan itu sebelum pergi mencari sesuatu untuk dimakan. Dia tertinggal di sana sendiri. Aku mendengar Enya lagi. Kali ini Ebudae yang sedang terdengar. Aku sempat berhenti sepersekian detik. Perempuan itu, dan Ebudae dalam sore yang lengang, sungguh menciptakan sensasi yang menggetarkan.

Bintang

July 31st, 2005

Dalam keterdiaman aku bertanya, mengapa bintang dan kita teramat jauhnya.
Hanya sinarnya yang sampai setelah menempuh ribuan tahun cahaya.
Lantas dalam keterdiaman aku merasa teramat berjarak dengannya.
Menerbitkan ingin yang hanya dibawa angin dalam mimpi tanpa judul :
Betapa aku ingin menggegamnya dalam damai memiliki.

(Namun siapa memiliki siapa, toh kita sebenarnya tak pernah memiliki apaapa.)

Arkian,
Aku menatap dalam keterpesonaan penuh. Bahwa jaraklah yang membuat bintang terlihat indah.
Mungkin lebih baik dia tetap di kejauhan sana. Menjadi indah sebab jauh tak tertempuh.

Senin, 09 November 2009

Ketika Itu,

June 30th, 2005

Ketika itu, matanya menetap di wajahmu
Begitu lama hingga kau tersipu. Melayu seperti dedaun turi disapa senja
Lantas dia bersuara sungguh

; engkau cantik. tidak seperti siapa-siapa. seuntuh kamu. tanpa lipstick. tanpa maskara. tanpa perona. seindah bunga dalam warna aslinya.

dia bersungguh. mungkin bersungguh. semoga bersungguh. agar kau tak lagi blingsatan memilih seperangkat alat bersolek. agar kau tak lagi tertipu berbagai merek.

HUJAN

Hujan
June 30th, 2005

Sore di halaman rumah ibu,
aku menyambutmu

[ hujan belum menetas, masih mendengkur di rahim mendung ]

engkau berjaket biru berkaos biru tanpa sepatu
membawa senyum yang kurindu berminggu-minggu. lalu bertanya : apa kabar

[ langit menjawab singkat, plass !!! petir menyalak segalak anjing. hujan terlahir. bumi menyenandungkan penyambutan. selamat datang bayi-bayi langit. akan kutimang dalam embanan sang tanah yang rekah lagi hangat ]

hujan membasahkanmu. menunda jawabanku. haruskah kujawab. engkau menerobos ke rumah. mengibas jaket basah. apa kabarmu, kau bertanya lagi.

aku pasi. lalu lirih berkata ; aku akan mati.

matamu menyipit. hujan di sana. hujan yang berbeda dari mendung yang berbeda.

tapi aku tak kan mati, hanya jika engkau ingin aku hidup.

[ hujan di semesta meriangkan satwa mengundang bianglala. tidak hujan di matamu yang melayukanku dalam kegelisahan ]

lalu, kau menyimpanku dalam pelukan.

[ hujan kian menggila, sore sedemikian dinginnya ]

Minggu, 08 November 2009

Menunggu Subuh

memanjat malam yang kian renta. bulan tak tampak purnama. gelap di luar sana. bintang berlomba memuja tuhan. langit meluas menanti doa dipanjatkan. harusnya aku segera menggelar sajadah. berbincang mesra dengan Kekasih. tetapi aku selalu tak berdaya. tak ada kafein yang menguatkanku. sementara subuh masih jauh di sana.

Saat berangkat

Berharap banyak pada detik-detiknya agar melambat menuju pukul enam.

Tapi siapa aku yang bisa memohon waktu menahan lajunya. Meski cuma satu jam saja. Maka, tak kusiakan waktu yang kupunya, untuk menggambar wajahmu pada lembaran ingatan yang kuharap bisa bertahan lama. Tanpa krayon, tentunya. Kau pun bertanya, mengapa kau memandangku seperti itu. Aku hanya menggeleng, alasan apa yang bisa kuungkapkan meskipun sebenarnya aku punya alasan bagus untuk memandangimu terus.

Lalu kau bergerak, mulai berkemas. Ah, ritual ini yang paling kubenci. Ketika kau pergi tanpa aku. Menyaksikanmu memasukkan satu-satu pakaian ke dalam ranselmu yang mulai menggembung, membuatku merasa semakin menyusut. Betapa aku ingin menyusup diantara lembaran pakaian itu. Mengikuti kepergianmu dan mengejek rasa rindu yang bahkan saat ini pun telah mengawasiku dari jauh. Rindu itu, yang tertawa di kejauhan. Sebentar lagi pasti akan menghinggapiku, saat kau keluar dari gerbang.

Rasanya aku semakin menyusut, saat kau mengecek tiket. Itu tandanya kau akan segera berangkat. Untuk beberapa saat aku ingin mengabaikan waktu, menikmati saat kau mengecupku seperti biasanya. Aih, tapi waktu memang selalu berisik, mengingatkan kita ini itu, mengingatkanmu untuk segera berangkat. Setelah mengucap salam perpisahan kau pun melambaikan tangan lalu melangkah menjauh. Aku masih menatap sosokmu sampai lenyap di kelokan. Pada saat itulah rindu segera menyergapku sambil tertawa riang.

Ngilu

kupandangi engkau. tanpa bosan. tak pernah bosan memang. justru waktu serasa semakin menciut. melecut kita pada detik itu. saat engkau melambai pergi. dan kutatap sosokmu yang lantas lenyap di kelokan.

sepi itu serupa martil, bukan. memalu hati sampai ngilu. tanpamu begitu sepi. begitu ngilu.

wajahmu memang masih tertinggal dalam ingatan yang melulu tentang kita. dan cinta yang manis. serta selalu membuat rindu. rindu itu. rindu ini. rindu yang sekarang membekapku. dalam sunyi serta hati ngilu.

Jumat, 06 November 2009

Ambigu

pada sore yang lugu. saat langit kelabu. dan aku. dan kamu.

tak lagi mampu menyuarakan kata. saling berbahasa dalam senyap. barangkali aku salalu salah mengartikan. sebab ambigumu.

cinta itu entah kemana. mungkin menyusup di sela sela hari yang monoton. apa gunanya kita di sini. saling sepi dan menarik diri.

Kamis, 05 November 2009

Drama hari ini

masih saja mereka saling mengelak. mengaku diri paling jujur. tidakkah mereka teringat tuhan tahu segalanya. buat apa berkata dusta.
sementara,
di luar sana aksi masih digelar. menuntut hal paling mewah di jaman tempat segalanya bisa dimanipulasi. kejujuran yang entah pergi kemana meninggalkan hati para pemeran utama di opera nyata ini.

merenung dan tertawa satir. bagaimana nanti anak-anak kita mempelajari kebenaran universal. saat hitam dan putih ditukar-tukar sesusai keinginan.
 

Followers

Ads Banner

Mengenai Saya

Foto saya
female. environmentalist wannabe. happy as always. open minded. casual ways. simple. impulsive buyer. dreamer. movie freak. book addicted. sometime talk active, sometime being a silent one. always try to pursue life goals and being thankful for every ordinary miracle in life.
Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template Vector by DaPino