Sabtu, 05 Desember 2009

Diduakan

Rapat kantor dengan klien yang mengharuskan saya mengunjungi komplek makan di daerah Tebet itu. Ketika saya keluar dari salah satu tempat makan di sana, mata saya menangkap sosok wanita yang sudah saya akrabi, bahkan dari sisi belakangnya sekalipun. Dia sedang berjalan menjauh melintasi halaman parkir. Jantung saya serasa berhenti, menyaksikan dia bergelayut manja pada laki-laki yang tak lebih tinggi dari saya. Segera saya berlari dan masuk ke mobil yang terparkir tak jauh dari tempat saya berdiri. Rasa penasaran menahan saya beberapa lama di dalam mobil, menunggu mereka keluar dari komplek ini. Dugaan saya tepat, mobil mereka melintas di depan saya. Tawa wanita di dalam mobil itu serupa silet yang menyayat perlahan hati saya. Sedemikian riangnya dia bersama laki-laki lain itu, yang saya tahu adalah Zaki.

----------------------------
Jumat ini, saya sengaja pulang cepat. Jam 5 saya sudah sampai di rumah. Tidak gampang memang meninggalkan tanggung jawab di kantor sebelum semuanya terselesaikan. Tapi saya tahu, saya harus segera pulang, atau saya tak akan pernah bisa lagi melihat senyumnya yang menenangkan itu. Senyum yang akhir-akhir ini sudah jarang lagi saya nikmati. Saya yang terlalu sibuk, atau dia yang jarang lagi menyunggingkan senyum yang sama itu ?

Selesai mandi, saya menyalakan tv di ruang tengah. Tayangan di tv itu tak benar-benar saya perhatikan. Kejadian sore kemarin di Tebet kembali mengapung dalam ingatan. Senyumnya yang langka bagi saya, tetapi begitu murah dia berikan pada Zaki. Jantung saya memang sudah berdetak normal kembali, tetapi sakit di hati belum sembuh benar. Sepulang dari Tebet kemarin saya langsung meluncur ke kantor, berkutat dengan tumpukan file yang tidak saya sentuh selembar pun. Pikiran saya meracau, menimbulkan suara-suara nyaring di kepala. Kadang saya mendengar tawa mengejek, kadang tangisan yang melolong, kadang hanya bisikan angin yang menyuruh saya bersabar. Bosan mendengar suara-suara itu, saya pun pulang saat bulan tepat berada di puncak langit.

“Loh, Pa. Kok sudah pulang ?”

Wanita yang saya lihat di Tebet bersama Zaki kemarin kaget melihat saya sudah duduk manis di depan tv. Dia meletakkan handbag dan kantong belanjaan di atas meja makan. Saya menyunggingkan senyum, mungkin dengan level ketulusan yang minim. Dia pun menghampiri saya, mencium tangan saya seperti biasanya, lalu duduk di samping saya. Dia mengeluhkan harga-harga yang beranjak naik, mengeluhkan kemacetan di hari Jumat, mengeluhkan banyak hal yang tak satupun ingin saya bahas. Tangan kiri saya menggenggam tangan kanannya, dia terhenyak. Seolah itu adalah hal pertama yang pernah saya lakukan. Mulutnya mengatup, matanya menyiratkan tanda tanya tapi tak pernah dikatakannya.

“Rania….”

Saya menyebut namanya. Sudah lama saya tidak menyapanya dengan panggilan itu, sejak saya mengucapkan janji pada Tuhan untuk menjadi imam baginya, menjadi pendamping setianya di saat suka dan duka. Sekarang saya tersentak sendiri mengingat janji itu, apakah iya saya selalu mendamping Rania di saat suka dan dukanya. Jangan-jangan tidak.

Rania, yang rambutnya masih setebal dan sehitam dahulu memandang saya ragu. Sepertinya dia menangkap sesuatu yang tak wajar. Mungkin sekarang dia sudah tahu kemana saya akan mengarahkan pembicaraan ini.

“Rania, jika aku adalah sahabatmu yang dulu, dan sekarang sedang bertanya padamu, apakah kau bahagia dengan pernikahanmu, apa jawabanmu ?”

Tanya saya. Dia tak mampu melawan tatapan mata saya. Matanya beralih memandang obyek lain.

“Apa kekurangan suamimu, Rania ? Jujurlah padaku, anggap aku bukan suamimu. Anggap saja aku sahabatmu, tempatmu mengeluh.”

Aku memohon. Rania merasa tak nyaman dengan situasi ini, namun dia tak berusaha lari. Dia masih di sini, di situasi yang sama. Bola matanya yang dulu memikatku bergerak-gerak. Air mata mengalir perlahan. Tapi dia tak terisak.

“Mas, apa maksudmu ?”

Tanyanya bingung. Tidakkah dia tahu, saya lebih bingung darinya. Saya sang lelaki, berusaha sekuat tenaga mengalahkan ego dan gengsiku saat bertanya itu padanya. Saya sang lelaki yang terluka dan cemburu saat melihat istrinya menghabiskan waktu dengan lelaki lain tanpa sepengetahuannya, juga bingung menyuarakan sakit hati tanpa menghakimi.

“Aku tahu, tentang Zaki. Kemarin aku melihatmu di Tebet saat aku rapat di sana.”

Dia mengangguk. Kali ini dia merosot dari sofa, seperti kain tanpa kekuatan. Tangannya memegang kedua lututku. Wajahnya menunduk di sana, air mata tumpah menetes di lantai tanpa karpet.

“Maafkan aku, Mas.”

Sekarang dia terisak. Saya menanyai diri sendiri, apakah dia akan kumaafkan ?

“Apa yang membuatmu tidak bahagia dengan pernikahan kita ?”

Saya bertanya dengan ketakutan yang mendadak mengunjungi di sudut ruangan serupa hantu tanpa wujud. Hitam dan mengancam. Sata mendengar dia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya tidak jauh dari tungkai kakiku.

“Aku…aku, aku hanya merasa kauabaikan, Mas. Tak pernah benar-benar kaudengar.“

Dia berkata. Wajahnya sudah terangkat, mata basah itu menatapku. Ketakutan itu merangsek maju mendekatiku ditemani rasa bersalah yang mendadak datang siap menghantamku.

“Pada saat itu, Zaki secara kebetulan datang dan mau mendengarkan aku.”

Ya…Zaki memang tak pernah berhenti mengusik saya. Rania selalu menjadi targetnya, sejak kami masih sama-sama kuliah dulu. Sekarang, meski sudah ada Radit dan Rasya dia tak berhenti. Sedemikain terobsesinyakah dia pada Raniaku, ibu dari anak-anakku ?

“Maafkan aku….”

Ujarku lirih, merasa berdosa karena sudah mengabaikannya. Aku mengelus rambutnya, khawatir dia akan benar-benar pergi meninggalkanku demi Zaki. Siapkah aku menjalani kesendirian tanpanya ?

“Kau tak salah, Mas. Aku tahu kau sibuk, demi aku, demi anak-anak. Harusnya aku yang tahu diri. Aku istri yang durhaka.”

Dia menunduk lagi, mencium lututku yang gemetar. Rasa bersalah itu telah menghantamku kini, tepat di dadaku.

“Kau ingin aku mence….”

“Tidak, tidak, jangan ceraikan aku. Maafkan aku, aku masih mencintaimu. Aku teramat mencintaimu, dan teramat putus asa. Tak tahu lagi bagaimana cara mengatakannya padamu. Kau terlalu sibuk. Aku tidak menginginkan Zaki. Mungkin, aku hanya memanfaatkannya. Aku jahat, Mas. Padamu, dan pada Zaki. Tapi aku lebih mencintaimu dari siapapun. Maafkan aku…..”


______________
 

Followers

Ads Banner

Mengenai Saya

Foto saya
female. environmentalist wannabe. happy as always. open minded. casual ways. simple. impulsive buyer. dreamer. movie freak. book addicted. sometime talk active, sometime being a silent one. always try to pursue life goals and being thankful for every ordinary miracle in life.
Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template Vector by DaPino